Yang Lapor Dipanggil, Yang Dilapor Asyik: Ketika Negara Panik, Kebenaran Jadi Tumbal


Opini:

Oleh: Abdullah R (Wakil Suara Rakyat) 

Di republik yang sehat, hukum berdiri di atas kebenaran. Tapi di republik yang sedang demam kekuasaan, hukum bisa berubah menjadi alat pertahanan diri. Bukan untuk melindungi rakyat, tapi untuk mempertahankan ilusi yang dibangun dengan susah payah. Maka terjadilah ironi: yang melapor dipanggil, yang dilapor malah asyik. Yang membongkar kecurigaan, diperiksa. Yang jadi pusat kecurigaan, justru diberi karpet merah.

Ini bukan fiksi. Ini realitas politik Indonesia hari ini. Ijazah Presiden Jokowi yang dipersoalkan sejak lama kini kembali jadi sorotan. Tapi bukan karena klarifikasi terbuka atau transparansi dari lembaga pendidikan. Bukan karena negara ingin menjawab keraguan rakyat. Justru sebaliknya karena negara sibuk membungkam suara-suara yang bertanya.

Pelapor kasus ijazah dipanggil polisi. Yang membela, diperiksa. Bahkan tokoh sekelas Tom Lembong mantan menteri, eks orang kepercayaan istana ikut jadi sasaran delegitimasi. Semua yang mempertanyakan, dikemas jadi ancaman. Lalu siapa yang benar?

Pertanyaan soal keaslian ijazah presiden seharusnya sangat sederhana. Jawab saja secara terbuka. Tunjukkan dokumen asli, hadirkan saksi akademik, buka semua data. Jika benar, maka selesai. Tapi mengapa justru orang yang bertanya diposisikan sebagai musuh?

Saat Tom Lembong menyatakan bahwa ijazah Presiden Jokowi palsu, itu bukan pernyataan receh dari netizen random. Tom bukan anak medsos, dia mantan pejabat negara. Pernyataannya semestinya membuat seluruh mesin kekuasaan bereaksi. Tapi reaksi yang muncul bukan klarifikasi faktual, melainkan pembunuhan karakter: “Tom kecewa, Tom sakit hati, Tom tidak relevan.”

Pertanyaannya: sejak kapan kejujuran diukur dari jabatan? Apakah seorang menteri hanya dianggap jujur ketika masih di lingkar kekuasaan? Atau justru, kebenaran baru bisa muncul ketika seseorang sudah bebas dari belenggu jabatan?

Logika hukum yang kini dipertontonkan justru menelanjangi ketakutan negara terhadap pertanyaan. Sebuah rezim yang kuat tidak akan gentar terhadap kritik. Tapi rezim yang rapuh akan panik pada wacana. Dan hari ini, kita sedang menyaksikan rezim yang panik.

Yang lebih menyedihkan adalah publik dipaksa menelan narasi bahwa mempertanyakan keaslian dokumen adalah tindakan makar. Logika ini berbahaya. Sebab jika pertanyaan bisa dikriminalisasi, maka keadilan tinggal menunggu ajal. Negara akan menjadi ruang sunyi yang hanya boleh diisi oleh pujian, bukan pertanyaan.

Maka kita harus kembali ke akar masalah: mengapa ijazah Jokowi menjadi masalah nasional?

Karena kekuasaan dibangun atas dasar kepercayaan. Dan kepercayaan itu hanya bisa bertahan bila fondasinya jujur. Ketika rakyat mulai meragukan kejujuran itu, dan negara tidak bisa menjawab secara terbuka, maka seluruh sistem bisa goyah. Sebab itu, pertanyaan soal ijazah bukan soal pendidikan, tapi soal moral kekuasaan.

Kalau hari ini pelapor dipanggil, pembocor diserang, dan yang dilaporkan dilindungi, maka esok hari tak ada lagi ruang untuk kontrol publik. Ini bukan lagi soal Jokowi. Ini soal bagaimana negara memperlakukan rakyatnya yang bertanya.

Rocky Gerung pernah berkata, “Negara ini dibangun di atas tipu daya, dan rakyatnya dididik untuk percaya.” Pernyataan itu terdengar pahit, tapi semakin relevan. Kita melihat sendiri bagaimana tipu daya dirawat, dan kepercayaan dipaksa. Padahal kepercayaan yang dipaksa akan berakhir menjadi pembodohan.

Lucunya, di tengah isu ini, istana justru memilih diam. Lembaga pendidikan yang katanya tempat Jokowi kuliah juga memilih aman. Tidak ada satu pun yang tampil dengan bukti otentik, lengkap, dan transparan. Semua hanya bicara normatif: “Kami yakin asli.” Tapi dalam dunia akademik, keyakinan bukan alat bukti. Yang dibutuhkan adalah fakta. Scan ijazah bisa dibuat siapa saja. Tapi saksi sejarah dan data resmi tak bisa direkayasa.

Maka ketika Tom Lembong bicara, sesungguhnya ia sedang menyuarakan apa yang rakyat kecil takutkan untuk ucapkan. Ia membayar mahal dengan reputasi, mungkin juga ancaman. Tapi ia memilih bicara, karena diam adalah pengkhianatan terhadap akal sehat.

Dan ketika negara mulai membungkam pertanyaan, maka tugas kita sebagai rakyat bukan ikut diam, tapi justru bertanya lebih keras. 

Yang melapor kini dipanggil. Yang dilaporkan masih asyik. Yang membela kejujuran malah dituduh makar. Maka jelaslah, negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Kita tidak kekurangan bukti—kita kekurangan keberanian. Dan ketika keberanian mati, maka kebenaran pun tinggal nama.

Di republik yang sehat, kekuasaan tunduk pada rakyat. Di republik yang sakit, rakyat harus tunduk pada ijazah yang tak boleh dipertanyakan. 

Post a Comment

Previous Post Next Post