Waspada! Polisi Diam Soal Pasar Malam, Jangan-jangan Sudah “Disetel”?

 
Opini

Oleh: Redaksi JMNpost

Di negara hukum, kehadiran aparat penegak hukum semestinya menjadi simbol keadilan. Tapi di Aceh Timur, keadilan justru terasa absen di tengah riuhnya pasar malam. Pertanyaannya: kenapa polisi diam?

Pasar malam di Idi Rayeuk yang seharusnya jadi hiburan rakyat, justru berubah menjadi beban bagi pedagang kecil. Harga sewa lapak yang melambung tinggi—dari Rp500 ribu hingga Rp4 juta—membuat pelaku UMKM kelimpungan. Bahkan ada yang mengaku membayar Rp3 juta hanya untuk sepetak tanah kosong tanpa tenda. Ironisnya, kontribusi resmi ke kas daerah hanya Rp22 juta. Lalu ke mana sisa uangnya?

Lebih mencurigakan lagi, pelaksanaan pasar malam ini disebut-sebut dikelola oleh pihak ketiga, alias event organizer (EO), dengan setoran mencapai puluhan juta rupiah. Dana parkir pun kabarnya lebih banyak masuk ke panitia EO ketimbang masyarakat lokal. Tapi di tengah semua itu, kepolisian tetap diam.

Padahal, dalam kegiatan yang melibatkan kerumunan, penggunaan ruang publik, hingga potensi pelanggaran perizinan, kepolisian seharusnya hadir sebagai pengawas utama. Namun kali ini, suara mereka nihil. Tidak ada konferensi pers. Tidak ada klarifikasi. Tidak ada tindakan.

Maka, wajar jika publik bertanya:
“Apakah polisi sudah disetel oleh panitia?”

Kata “disetel” mungkin terdengar kasar. Tapi itu adalah bahasa rakyat yang sudah muak melihat hukum hanya tajam ke bawah. Ketika rakyat kecil salah, mereka cepat ditindak. Tapi saat panitia mengeruk untung dari ruang publik tanpa kejelasan regulasi, hukum seperti hilang arah.

Aparat penegak hukum punya kewenangan besar. Mereka bisa menyelidiki sumber dana, legalitas EO, hingga alur distribusi PAD. Tapi hingga saat ini, tidak ada satu pun sinyal dari aparat bahwa mereka peduli. Maka publik pun bertanya: “Diam karena tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu?”

Kondisi ini kian panas setelah beberapa organisasi mulai bersuara. Ketua Badan Advokasi Indonesia (BAI), Razali alias Nyakli Maop, secara tegas meminta aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas dugaan penyimpangan di balik pasar malam tersebut.

“Jangan sampai rakyat merasa aparat cuma berani kepada yang lemah. Kalau ada pelanggaran dalam pengelolaan pasar malam ini, APH wajib turun. Jangan biarkan keadilan dikorbankan demi kepentingan oknum,” tegas Razali.

Sementara itu, dari sisi investigasi dan pemantauan aset negara, Kepala Bidang Badan Peneliti Aset Negara (BPAN), Rusli Ys, juga angkat bicara. Ia menyebut ada indikasi kuat bahwa potensi pendapatan daerah telah “disulap” menjadi keuntungan pribadi oknum tertentu.

“Kami menduga ini bukan lagi soal kesalahan teknis, tapi sudah mengarah pada korupsi sistematis yang difasilitasi oleh pembiaran aparat. Kalau ini dibiarkan, rakyat hanya akan jadi korban,” ujar Rusli.

Jika dua lembaga sipil saja sudah lantang bersuara, kenapa institusi resmi penegak hukum tetap memilih bungkam?

Kita tidak menuduh. Tapi kita berhak bertanya. Dan dalam demokrasi, pertanyaan itu adalah bentuk kontrol publik terhadap kekuasaan. Diamnya polisi bukan sekadar sikap, tapi bisa jadi isyarat.

Jangan sampai publik kehilangan kepercayaan. Jangan sampai hukum hanya menjadi alat bagi penguasa dan pengusaha, sementara rakyat terus jadi penonton yang dipalak di tengah keramaian.

Jika kepolisian ingin merawat wibawa, saatnya bergerak.
Periksa, bongkar, dan tuntaskan.

Catatan Redaksi:
Tulisan ini merupakan opini redaksi JMNpost yang disusun berdasarkan informasi lapangan dan pernyataan narasumber resmi. Redaksi terbuka terhadap hak jawab dari semua pihak yang disebut dalam tulisan ini.

Post a Comment

Previous Post Next Post