![]() |
Rasyidin (Tokoh Pemuda Nurussalam) |
Opini
Oleh: Rasyidin (Tokoh Muda Nurussalam)
Saat ini publik Aceh Timur ramai membicarakan soal mobil dinas. Isu ini viral, mengundang pujian dan simpati. Namun, kita harus waspada. Jangan sampai kita, rakyat Aceh Timur, terhipnotis oleh permainan kata seperti penonton sulap yang lupa dompetnya sedang dicuri saat tepuk tangan.
Kita apresiasi simbol hemat anggaran, tapi jangan lupa — kabupaten ini luasnya lebih dari 6.000 km², terdiri dari 24 kecamatan dan ratusan desa yang tersebar berjauhan. Penduduknya lebih dari 400.000 jiwa, dengan keragaman persoalan yang tidak bisa diselesaikan dengan sekadar pencitraan.
Dari jalan rusak yang tak kunjung diperbaiki, anak muda menganggur tanpa peluang, hingga rumah rakyat miskin yang belum layak huni — semua ini adalah realitas nyata yang perlu perhatian segera. Tambahkan pula jembatan rusak yang menghambat jalur akses ekonomi antar desa dan kecamatan. Bayangkan, bagaimana petani kecil membawa hasil panen jika jembatan nyaris putus? Bagaimana siswa sekolah menyeberang sungai saat hujan deras datang?
Jangan sampai karena viralnya berita mobil dinas, kita lupa untuk menuntut keadilan bagi:
Petani yang masih berjuang tanpa bantuan pupuk dan alat
Pemuda yang tidak punya lapangan kerja dan bimbingan usaha
Jalan-jalan penghubung desa yang rusak parah
Jembatan-jembatan yang rusak dan membahayakan keselamatan warga
Rakyat kecil yang hidup dalam gelap, tanpa listrik dan harapan
Kita harus cerdas memilah antara simbol dan substansi. Apakah menggunakan mobil pribadi sebagai simbol hemat anggaran patut diapresiasi? Ya. Tapi, apakah simbol itu cukup untuk menjawab kompleksitas permasalahan masyarakat? Tentu tidak. Justru bisa jadi penghambat, bila pemimpin tak lagi mampu menjangkau daerah-daerah terpencil karena keterbatasan fasilitas yang semestinya memang layak.
Pekerjaan kepala daerah bukan hanya di kantor, tetapi di lapangan — melihat langsung derita rakyat, mendengar suara petani, merasakan sulitnya hidup di pelosok. Bagaimana mungkin itu maksimal dilakukan tanpa kendaraan operasional yang memadai? Maka jika memang mobil dinas lama tak lagi mendukung tugas, pengadaan mobil baru bukanlah pemborosan, melainkan kebutuhan kerja.
Namun di sisi lain, kita juga perlu mengawasi dengan seksama bahwa setiap kebijakan benar-benar didasarkan pada skala prioritas rakyat, bukan sekadar kebutuhan pencitraan atau manuver politik. Simbol boleh tampil, tapi jangan sampai substansi rakyat terpinggirkan.
Mari kita buka mata. Membedakan antara akrobat politik dan kerja nyata. Rakyat tidak hanya butuh tontonan, tapi sentuhan. Kita tidak butuh tepuk tangan media sosial, tapi ketegasan keberpihakan.
Yang kita butuhkan bukan sekadar berita viral, tapi keadilan yang menjalar ke seluruh pelosok Aceh Timur.
Dan inilah saatnya suara muda bangkit, bukan untuk memprotes demi sensasi, tapi untuk mengingatkan: bahwa keadilan harus lebih nyaring dari sekadar tepuk tangan.
إرسال تعليق