Privasi Itu Ilusi, dan Kita Rela Dijual Demi Fitur Gratis




Oleh: Fahmi

Dulu, privasi itu mahal. Sekarang? Gratis—karena kita sendiri yang kasih. Ane kadang mikir, kita ini hidup di zaman yang aneh. Mau buka aplikasi cuaca aja, diminta akses lokasi 24 jam. Mau pakai filter kamera? Harus izinkan akses ke mikrofon, galeri, sampai kontak. Lah, ini gue mau foto selfie, bukan ngasih daftar teman satu kampung.

Tapi lucunya, kita tetap "oke-in" semua itu. Kenapa? Karena praktis. Karena males ribet. Karena "ya udahlah, semua orang juga gitu."

Masalahnya, di dunia digital, kalau kita nggak bayar pakai uang, artinya kita bayar pakai data. Dan data itu nggak cuma angka atau nama. Itu kebiasaan kita, jam tidur kita, tempat nongkrong favorit, bahkan isi obrolan kita di grup WA—semuanya jadi barang dagangan. Kita bukan pelanggan, bro, kita produk.

Pernah gak lo ngobrolin topik tertentu, terus gak lama muncul iklan yang nyambung banget? Ya, itu bukan kebetulan. Itu algoritma yang udah kenal kita lebih dari orang tua sendiri. Bahkan bisa lebih tahu siapa yang lagi deket sama kita, lewat likes dan scroll history.

Masalahnya bukan cuma soal iklan. Ini soal kendali. Soal kita yang makin biasa dimata-matai dan gak ngerasa itu masalah. Ane sering denger orang bilang, “Gue gak ada yang disembunyiin, jadi gak masalah.” Tapi privasi itu bukan soal nyembunyiin. Itu soal hak untuk milih, mana yang mau dibagi, mana yang enggak. Sekarang? Udah gak bisa milih. Mau gak mau, kalau pengen akses fitur, kita harus "jualan diri".

Yang lebih parah, kita jadi terbiasa. Lama-lama, kita lupa rasanya punya ruang pribadi. Lupa rasanya punya hidup yang gak terus-menerus dipantau, direkam, dan dianalisis. Dunia digital nyediain segalanya: gratis, cepat, seru. Tapi kita bayar dengan satu hal yang paling berharga—kendali atas hidup kita sendiri.

Jadi kalau ditanya, “Apakah privasi masih ada?” Jawaban saya: ada sih... di museum.

Post a Comment

Previous Post Next Post