Pedagang Kecil Diperas, Nama Bupati Dicatut: Siapa Dalangnya?

OPINI
Oleh: Mahdi (Tokoh Pemuda Aceh Timur) 

Dalam logika kekuasaan, rakyat kerap dijadikan alas kaki. Tapi kali ini, bahkan penjual sandal pun dipaksa membayar tiga juta hanya demi berdagang di lapak kosong tanpa tenda.
Ironisnya, ini terjadi bukan di negeri orang, tapi di Aceh Timur—di mana nama Bupati dijadikan stempel untuk memuluskan komersialisasi atas ruang publik.

Dulu, saat Pekan Olahraga Daerah (Popda), pedagang lokal cukup membayar lima puluh ribu per malam. Ketika momen lebaran datang, cukup tiga puluh ribu. 

Angka yang rasional, setara dengan semangat gotong royong dalam merayakan keramaian bersama. Kini, keramaian berubah menjadi ladang bisnis. Lapak di luar stand dijual mulai dari lima ratus ribu hingga tiga juta rupiah. 

Di dalam stand, harga meroket hingga empat juta. 

Siapa yang menetapkan tarif ini? Bukan rakyat. Tapi mereka yang menyebut dirinya "panitia"—yang membawa nama Bupati Iskandar Usman Alfarlaky seolah kekuasaan adalah hak milik, bukan amanah.

Lebih menyedihkan lagi, seorang penjual sandal yang menempati lapak kosong tanpa tenda diminta tiga juta. Di sampingnya, pedagang lain ditarik dua koma tiga juta. Tak ada belas kasihan, apalagi empati. Yang ada hanya kalkulasi untung-rugi. Rakyat kecil jadi korban, demi menutupi setoran yang konon mencapai 85 juta ke panitia dari pihak lapangan, Jamal.

Jika lapak dijual semahal itu, berapa kontribusi untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD)? Hanya 22 juta. Itu kata Nazaruddin, SE, M.Si, Kabid Pendapatan BPKD Aceh Timur. Di sinilah logika terbalik bekerja.

Panitia bisa menarik puluhan hingga ratusan juta, tapi PAD hanya kebagian receh. Negara dipinggirkan, bisnis gelap dimuliakan.

Nazaruddin juga mengaku tidak tahu soal izin dari Polres. Padahal, dalam sistem pemerintahan, semua kegiatan yang menyangkut ruang publik dan pungutan wajib memiliki legalitas dan transparansi.
Masalah tak berhenti di situ. Parkir dikuasai oleh panitia Event Organizer (EO) sebesar 65%, sisanya 35% untuk pemuda setempat. Ini bukan bagi hasil, ini pembagian feodal. Yang kuat mengambil lebih banyak, yang lemah diberi cukup untuk diam.

Sementara itu, pertanyaan publik bergulir: Apakah kegiatan ini memiliki izin keramaian dari Polres Aceh Timur? Apakah ada pengamanan dari Satpol PP dan Wilayatul Hisbah? Atau ini hanya proyek gelap yang berlindung di balik sorotan lampu bazar?

Yang jelas, hingga kini belum ada konfirmasi dari pihak EO. Diam yang mencurigakan. Seolah kekacauan ini adalah rencana yang rapi.
Rakyat tak butuh bazar mewah. Mereka butuh keadilan dan ruang untuk mengais rezeki tanpa diperas. Ketika kekuasaan menjelma EO, dan nama Bupati dijadikan senjata, maka yang dilukai bukan hanya pedagang kecil, tapi martabat kekuasaan itu sendiri.

Jika pemerintah daerah tak segera turun tangan, maka wajar bila publik mulai bertanya: ini acara rakyat, atau pesta elit bertopeng bazar?

Post a Comment

Previous Post Next Post