Opini
Oleh: Mahdi
Pasar malam selalu datang dengan
janji: menghibur rakyat, meramaikan ekonomi, dan memberi peluang bagi pelaku
usaha kecil. Tapi di Aceh Timur, janji itu menjelma jadi ironi. Hiburan yang
seharusnya membahagiakan justru menyisakan keresahan. Lapak yang semestinya
jadi ruang usaha rakyat, malah berubah menjadi beban finansial. Di balik
dentuman musik dan kelap-kelip lampu malam, ada ratusan pedagang kecil yang
harus membayar mahal untuk sekadar bertahan hidup.
Mereka bukan datang untuk cari
untung besar. Mereka datang untuk bertahan. Tapi yang datang justru tekanan.
Tarif sewa lapak yang semula disepakati Rp300 ribu, tiba-tiba berubah menjadi
Rp500 ribu. Dan itu baru harga “termurah”. Untuk lapak ber-tenda, nominalnya
bisa mencapai Rp4 juta. Ini bukan lagi ruang usaha rakyat, ini sudah seperti
tender proyek kecil-kecilan.
Masalahnya bukan soal angka, tapi
soal etika. Ketika kesepakatan awal dilanggar secara sepihak, maka yang
terciderai bukan hanya kantong pedagang, tapi juga martabat akal sehat. Kalau
dalam rapat disepakati Rp300 ribu, kenapa kemudian berubah? Siapa yang
mengubah? Atas dasar apa? Di sini letak persoalan: kebijakan yang berubah
diam-diam tanpa transparansi adalah bibit dari korupsi kecil yang tumbuh subur
karena pembiaran.
Pasar malam seharusnya menjadi
simbol hadirnya negara di ruang rakyat kecil. Tapi yang terjadi justru
sebaliknya. Negara (atau oknum yang mengatasnamakan negara) hadir sebagai
pemungut. Dalam bahasa yang lebih terang: pemalak legal. Pedagang yang ingin
hidup, harus bayar. Pedagang yang ingin ikut, harus patuh pada tarif yang entah
siapa yang menentukan.
Dan lucunya, panitia selalu punya
dalih: “Ini sudah sesuai aturan,” katanya. Tapi ketika ditanya aturan mana,
jawabannya menggantung seperti lampu pasar malam terang tapi tak menjelaskan
apa-apa. Di sinilah peran aparat penegak hukum (APH) seharusnya tidak hanya
menjadi penonton dari panggung yang menghisap. APH mesti turun tangan, bukan
sekadar mengecek, tapi mengaudit. Uang sewa itu mengalir ke mana? Masuk kas
daerah atau kas pribadi? Kalau ke kas daerah, mana laporan resminya? Kalau
tidak ada laporan, berarti ini bukan administrasi, ini manuver gelap.
Jangan salah paham, ini bukan
soal antipati terhadap hiburan rakyat. Justru sebaliknya, ini soal membela ruh
dari acara rakyat itu sendiri. Hiburan harus menggembirakan, bukan memiskinkan.
Pasar harus menghidupi, bukan menindas. Negara harus hadir sebagai pelindung,
bukan penghisap.
Baca Juga: Sewa Lapak Capai Rp4 Juta, Pasar Malam Aceh Timur Tuai Kritik Pedagang
Aneh bin ajaib, ketika rakyat
kecil minta bantuan usaha, sering kali prosedurnya rumit dan panjang. Tapi
ketika rakyat ingin berdagang di pasar malam, pungutan datang lebih cepat dari
senyum petugas. Di sinilah rakyat mulai curiga: jangan-jangan yang disebut
“hiburan” itu cuma selubung dari mekanisme penekanan.
Dan jangan lupa, ada pedagang
harian yang biasa berdagang di sekitar taman pusat pemerintahan. Mereka pun
kena imbas. Tarif harian yang tadinya Rp5 ribu, melonjak jadi Rp55 ribu per
minggu. Tambahan Rp20 ribu per minggu mungkin terdengar kecil bagi mereka yang
duduk nyaman di balik meja, tapi bagi pedagang gorengan atau penjual rokok
eceran, itu bisa jadi selisih makan hari ini atau tidak.
Kita mesti jujur melihat
kenyataan ini: pasar malam bukan lagi pasar rakyat. Ia telah menjadi
korporatisasi mini yang dibungkus dalam jargon budaya. Dan rakyat kecil,
seperti biasa, menjadi penonton yang harus membeli tiket.
Akhirnya, pertanyaan pentingnya
bukan hanya “berapa uang yang dikutip”, tapi “atas nama siapa uang itu
dikutip”. Kalau ini benar-benar untuk daerah, maka transparansinya harus
dibuka. Tapi kalau ini hanya untuk segelintir orang yang bersembunyi di balik
nama panitia, maka rakyat berhak marah. Karena rakyat bukan obyek hiburan,
apalagi obyek pungutan. Rakyat adalah subyek dari demokrasi yang selama ini
cuma dijadikan slogan.
Pasar malam memang penuh lampu,
tapi jangan biarkan akal sehat kita jadi gelap.
Post a Comment