Negara Boleh Mengawasi Kita, Tapi Siapa yang Mengawasi Negara?


Opini

Oleh: Riski Wahyudi

Di tengah derasnya arus digitalisasi, pengawasan menjadi bagian tak terelakkan dari kehidupan modern. Negara hadir dengan serangkaian sistem: CCTV, e-KTP, aplikasi pelaporan, SIM digital, hingga pelacakan nomor HP. Semua diklaim demi efisiensi, keamanan, dan pelayanan publik. Tapi di balik niat baik itu, satu pertanyaan penting tak pernah benar-benar dijawab: siapa yang mengawasi negara saat negara sedang mengawasi kita?

Sebagai warga, kita diwajibkan menyerahkan data pribadi ke berbagai platform resmi: data wajah, sidik jari, lokasi, hingga rekaman suara. Namun di sisi lain, transparansi tentang bagaimana data itu dikelola seringkali tidak jelas, bahkan nyaris tak bisa dituntut.

Padahal dalam sistem hukum demokratis, kekuasaan apa pun—termasuk kekuasaan untuk mengawasi - harus memiliki mekanisme kontrol. Tanpa itu, pengawasan negara bisa berubah menjadi pelanggaran hak sipil.

Di banyak kasus, sistem pengawasan digital di Indonesia berjalan lebih cepat dari regulasinya.

Contoh paling nyata: pemanfaatan CCTV dengan fitur pengenalan wajah (facial recognition) di berbagai kota besar. Tidak ada pemberitahuan, tidak ada kebijakan privasi yang terbuka, dan yang paling parah: tidak ada jaminan bahwa data yang dikumpulkan akan aman dari penyalahgunaan.

Kita hanya diberi narasi: ini demi keamanan.
Tapi pertanyaannya:

Siapa yang mengakses rekaman tersebut?

Apakah aparat boleh menyimpan atau menyebarkan gambar warga sipil seenaknya?

Apa dasar hukumnya?

Di dalam logika hukum, pengumpulan data pribadi oleh negara seharusnya tunduk pada prinsip proportionality dan legality. Artinya, harus ada dasar hukum yang jelas, dan harus ada alasan yang sah serta seimbang dengan potensi pelanggaran hak individu.

Tanpa itu, negara bukan lagi pelindung, tapi pengintai.

UU PDP: Ada, Tapi Masih Goyang

Memang, Indonesia sudah punya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Tapi realitasnya, implementasi masih jauh dari ideal. Belum ada lembaga otoritatif yang cukup kuat dan independen untuk menegakkan aturan.
Apalagi ketika pelanggar datanya adalah lembaga pemerintah itu sendiri.

Ketika negara sebagai pemroses data tidak bisa diawasi secara independen, maka kekuasaan itu jadi asimetris. Warga diwajibkan jujur dan transparan, sementara negara bisa memilih diam dan tertutup.

Satu hal yang sering disalahpahami adalah: menuntut perlindungan privasi bukan berarti menolak keamanan. Justru di negara hukum, keamanan sejati datang dari sistem yang bisa dipercaya—dan itu hanya bisa terjadi kalau ada transparansi.

Negara seharusnya tidak alergi diawasi.
Dalam dunia modern, pengawasan terhadap aparat justru tanda bahwa demokrasi bekerja.
Tanpa kontrol publik, semua kekuasaan akan cenderung disalahgunakan—dan sejarah sudah terlalu sering membuktikan itu.

Pengawasan yang Sah Harus Bisa Dipertanyakan

Kalau ada kamera di perempatan jalan, warga berhak tahu:

Siapa yang memasang?

Data disimpan di mana dan berapa lama?

Bisa diakses oleh siapa saja?

Apa ada mekanisme pengaduan jika data disalahgunakan?

Ini bukan soal mencurigai negara.
Ini soal meletakkan keseimbangan kekuasaan pada tempatnya.
Karena dalam sistem hukum modern, setiap kekuasaan harus bisa digugat, bahkan oleh rakyat biasa.

Negara seharusnya tidak menjadi seperti makhluk tak terlihat yang tahu segalanya, tapi tidak bisa dimintai pertanggungjawaban.

Negara harus bisa diajak bicara. Diperiksa. Diadili, jika perlu.

Karena kalau negara bisa tahu setiap langkah warganya, tapi warganya tidak bisa tahu apa-apa soal negara—itu bukan lagi republik. Itu sistem pengawasan satu arah yang menakutkan.

Jadi, sekali lagi kita harus bertanya:
Negara boleh mengawasi kita. Tapi siapa yang mengawasi negara?


Post a Comment

Previous Post Next Post