Opini:
Oleh Mahdi
Pernah gak merasa bahwa sebagian kebijakan pemerintah itu lahir tanpa proses berpikir panjang? Tiba-tiba muncul, dadakan, tidak terstruktur, tapi diumumkan dengan penuh percaya diri, seolah sedang meluncurkan strategi negara yang revolusioner. Padahal kalau dibaca ulang... lebih cocok masuk rubrik humor politik.
Banyak kebijakan yang dibuat bukan karena rakyat butuh, tapi karena pemerintah ingin kelihatan kerja. Yang penting ada launching, ada baliho, ada buzz di media. Soal efektivitas? Nomor sekian. Bahkan kadang tidak jelas siapa yang merancang, siapa yang memverifikasi, atau apakah ada riset yang melatarbelakanginya.
Beberapa kebijakan bahkan terdengar seperti lelucon. Ada yang mewajibkan atribut aneh, ada yang ngotot soal perubahan istilah, sampai larangan yang malah bikin repot warga sendiri. Tapi hebatnya, begitu dikritik, pemerintah langsung pasang tameng: "Ini demi kebaikan bersama", "Yang gak setuju berarti gak paham", atau andalan klasik: "Jangan politisasi kebijakan!"
Lebih lucunya lagi, semakin ngawur kebijakannya, semakin besar anggaran promosi yang disiapkan. Rakyat bingung, tapi pemerintah senang—karena sudah “bekerja”. Seolah ukuran keberhasilan negara adalah seberapa sering rapat, bukan seberapa nyata hasilnya.
Yang menyedihkan, saat warga protes karena terdampak langsung, mereka malah dianggap penghambat. Padahal rakyat cuma ingin satu hal sederhana: kebijakan yang masuk akal, berdasar data, dan menyelesaikan masalah nyata.
Kenapa ini bisa terjadi? Karena di negeri ini, pencitraan sering lebih penting dari substansi. Yang diukur bukan hasil, tapi seberapa cepat bisa trending. Tidak heran kalau kita sering mendengar istilah: “Kebijakan ini adalah legacy,” padahal kenyataannya... cuma polemik yang diulang tiap tahun.
Rakyat lelah disuguhi aturan-aturan dadakan. Dari yang tak masuk akal, sampai yang mengada-ada. Tapi setiap kali dikritik, pemerintah bukannya mengevaluasi, malah menyerang balik. Seolah koreksi adalah bentuk penghinaan.
Negara ini tidak kekurangan orang pintar. Tapi terlalu banyak yang malas berpikir, dan terlalu sedikit yang berani bilang, “Ini kebijakan gak masuk akal, Pak.”
Post a Comment