Jalan Batu Warisan Ibu Tien di Nurussalam Kini Jadi Hutan: Di Mana Negara?

JMNpost
Opini

Oleh : Fahmi

Di Kecamatan Nurussalam, Aceh Timur, ada sebuah jalan kebun yang dulunya dibuka dengan semangat pembangunan dan keringat rakyat. Tapi hari ini, jalan itu nyaris lenyap—bukan karena gempa, tapi karena abainya negara.

Jalan itu dulu bukan sekadar jalur menuju kebun, tapi simbol kemajuan. Dibuka di masa Orde Baru, lewat program pembukaan kebun rakyat, jalan ini dulunya rapi, keras oleh batu, dan padat oleh semangat kerja.

Bukan jalan aspal. Tapi bukan pula jalan lumpur. Masa itu, tanpa alat berat modern, jalan dibangun dengan tenaga, bukan anggaran. Dengan niat, bukan proyek.

Rakyat disuruh buka kebun, negara sediakan lahannya. Lalu rakyat membayar cicilannya dari hasil getah karet yang mereka panen. Sistemnya sederhana, tapi logis. Karena waktu itu, negara mengerti satu hal penting: jika ingin rakyat kerja, beri mereka jalan.

Tapi itu dulu.
Sekarang 2025. Aceh sudah damai. Pemerintah daerah punya otonomi. Dana desa miliaran digelontorkan. Tapi jalan itu malah hilang ditelan semak.

Batu-batu yang dulu disusun untuk mempercepat panen, kini ditutupi akar dan ilalang. Jalan yang dulu dilalui getah menuju pasar, kini hanya dilalui semut dan nostalgia.
Dan pertanyaannya bukan kenapa jalannya rusak, tapi kenapa tak pernah diperbaiki?

Kenapa jalan yang dibuka dengan semangat lama, malah ditinggalkan oleh semangat baru?
Kenapa jalan yang dibangun tanpa aspal di masa lalu, kini justru tak disentuh sama sekali di masa modern?

Ini bukan soal aspal. Ini soal arah pikir pemerintah.
Ketika prioritas pembangunan hanya diukur dari besarnya anggaran dan jumlah plang proyek, maka rakyat kecil tak akan pernah masuk dalam daftar penting. Karena jalan ini tidak masuk APBN, tidak masuk headline, dan tidak cukup basah untuk jadi rebutan.

Pekebun karet di Nurussalam bukan pemilik perusahaan. Mereka bukan petani dalam program. Mereka hanya rakyat kecil yang hidup dari getah. Tapi justru karena itu, merekalah inti dari kedaulatan ekonomi lokal.
Tanpa jalan, hasil panen mereka terhambat. Tanpa jalan, kebun mereka seperti pulau terpencil yang tak bisa dijangkau. Dan ironisnya, semua itu terjadi bukan karena tidak ada uang, tapi karena tidak ada kehendak.

Pemerintah Aceh hari ini tidak bisa lagi menyalahkan Jakarta.
Dana otonomi ada. Dana desa ada. Dana aspirasi mengalir. Tapi jalan kebun yang satu ini, yang dulu dibangun dengan batu dan idealisme, kini ditinggal karena dianggap tak menguntungkan secara politik.

Jika dulu Ibu Tien bisa buka jalan dengan batu dan tekad, apakah pemerintah hari ini kalah dari masa lalu?

Masyarakat Nurussalam tak minta jembatan layang. Mereka hanya ingin jalan yang memungkinkan mereka bekerja.
Bukan untuk selfie, tapi untuk hidup.

Dan jika pemerintah masih diam, maka opini ini adalah suara awal dari jalan yang akan dibangun lagi. Bukan dengan alat berat, tapi dengan kesadaran rakyat bahwa mereka tak boleh terus dilupakan.

Karena jalan itu bukan soal infrastruktur. Ia adalah jejak sejarah. Dan membiarkannya hilang, berarti membiarkan rakyat berjalan sendirian.

Post a Comment

Previous Post Next Post