Gratis Itu Mahal: Ekonomi Platform dan Harga yang Kita Bayar Diam-diam

 


Opini

Oleh: Hendra, Ahli IT

JMNpost.com | Di dunia digital hari ini, segalanya terasa gratis. Cari informasi? Google. Kirim pesan? WhatsApp. Tonton video? YouTube. Scroll tanpa henti? TikTok. Semua tersedia tanpa harus mengeluarkan sepeser uang. Tapi justru di situlah jebakannya: gratis bukan berarti tanpa biaya.

Ekonomi platform tidak dibangun di atas transaksi konvensional, melainkan di atas perhatian, perilaku, dan data. Ketika kita menggunakan layanan mereka, kita bukan sedang dilayani—kita sedang dieksploitasi, dengan cara yang begitu halus sampai kita sendiri lupa sedang dijual.

Kita pikir kita pelanggan, padahal kita produk.
Yang sebenarnya membeli adalah para pengiklan, agensi, dan perusahaan besar. Mereka tak membeli layanan, tapi membeli kita: kebiasaan kita, selera kita, bahkan potensi keputusan yang belum kita buat. Semua dikemas dalam bentuk profil digital, yang kemudian ditarget dengan iklan super personal.

Lebih gila lagi, semua ini terjadi secara otomatis, algoritmis, dan masif. Semakin sering kita pakai platform-platform itu, semakin akurat mereka membaca kita—dan semakin kuat mereka memengaruhi cara kita berpikir, memilih, hingga percaya.

Ekonomi platform telah menciptakan peradaban di mana perhatian adalah mata uang paling berharga, dan kita rela membayarnya dengan waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk hal lain. Dalam model ini, pengguna bukan hanya pasif, tapi juga aktif menumpuk keuntungan untuk platform lewat interaksi: like, share, klik, komen, bahkan hanya dengan menonton.

Ketika Demokrasi Pun Bisa Dibeli

Contoh paling mengerikan dari "ekonomi perhatian" ini mungkin adalah skandal Cambridge Analytica. Melalui celah data dari Facebook, jutaan pengguna diekspos secara diam-diam demi memengaruhi opini politik mereka. Bukan sekadar menjual sabun atau gadget—tapi menjual ideologi.

Data yang dikumpulkan dari kuis-kuis tidak penting itu digunakan untuk memetakan karakter psikologis seseorang, lalu disasar dengan kampanye yang secara khusus dirancang untuk menekan ketakutan atau memperkuat biasnya. Ini bukan lagi soal iklan, tapi manipulasi massal.

Dan yang membuatnya ironis: semua dilakukan atas dasar “izin pengguna”—yang artinya kita sendiri yang mengklik “I Agree” tanpa pernah membaca syarat dan ketentuannya.

Mereka tumbuh karena kita memakainya setiap hari. Setiap klik adalah kontribusi. Setiap data adalah bahan bakar. Dan semakin besar mereka, semakin sulit kita lepas. Ini bukan sekadar ketergantungan digital, tapi penguasaan struktural terhadap perilaku manusia modern.

Gimana tidak? Bahkan urusan harian—mencari tempat makan, baca berita, sampai buka rekening bank—semua terhubung ke platform besar yang punya satu tujuan utama: menjaga kita tetap online selama mungkin. Karena makin lama kita terjebak, makin banyak iklan bisa ditampilkan. Dan makin banyak uang mengalir ke kantong mereka.

Ini bukan layanan publik. Ini bisnis besar—mungkin yang paling besar dalam sejarah manusia. Dan semuanya dibungkus dengan satu kata manis: gratis.

Harga yang kita bayar bukan hanya privasi. Tapi juga:

Waktu, yang hilang dalam scroll tak berujung.
Kesehatan mental, yang perlahan terkikis oleh perbandingan sosial, algoritma, dan notifikasi.
Kebebasan berpikir, karena algoritma hanya menunjukkan apa yang ingin kita lihat, bukan apa yang perlu kita tahu.

Bahkan dalam jangka panjang, harga itu bisa berupa hilangnya kendali atas hidup kita sendiri. Karena ketika algoritma tahu lebih dulu apa yang akan kita beli, tonton, atau dukung masihkah kita benar-benar membuat keputusan sendiri?

Ada pepatah lama yang berkata, “Kalau kamu tidak membayar untuk produknya, maka kamu adalah produknya.” Dan dalam dunia digital, pepatah itu bukan lagi teori. Ia adalah fakta sehari-hari.

Mungkin sudah waktunya kita berhenti menganggap platform digital sebagai “penyelamat hidup modern.” Mereka bukan layanan sosial. Mereka adalah mesin uang, dan kita adalah sumber dayanya.

Bukan berarti kita harus berhenti total. Tapi kita harus lebih sadar. Lebih bijak. Karena gratis itu mahal, dan seringkali, kita baru sadar setelah semuanya terlanjur hilang.

Post a Comment

Previous Post Next Post