Opini
Oleh: Abdullah R (Pemerhati Sosial)
Langkah Bupati Aceh Timur, Iskandar Usman Al-Farlaky, membatasi pelaksanaan Bimbingan Teknis (Bimtek) dalam pengelolaan Dana Desa adalah keputusan yang bukan hanya strategis, tetapi juga patut diapresiasi sebagai bentuk reformasi anggaran di tingkat akar rumput.
Selama ini, istilah “Bimtek” kerap menjadi kamuflase atas pemborosan anggaran. Berkedok peningkatan kapasitas, namun sering berujung pada wisata birokrasi yang tak relevan dengan kebutuhan desa. Kegiatan berlangsung di luar daerah, biaya tinggi, peserta terlalu banyak, dan hasilnya nihil. Sebab itu, ketika pemerintah menetapkan pembatasan Bimtek hanya satu kali setahun per gampong, dengan peserta maksimal dua orang dan topik yang harus relevan dengan tugasnya, ini adalah bentuk kontrol anggaran yang patut didukung sepenuhnya.
Namun, satu hal yang harus kita evaluasi secara serius adalah potensi penyimpangan baru: jangan sampai karena hanya dilakukan satu kali, biaya satu kali Bimtek justru membengkak hingga setara dengan sepuluh kali kegiatan sebelumnya. Iya, kuantitas boleh dikurangi, tapi kalau kualitas tetap rendah dan biaya malah naik drastis, itu sama saja menciptakan celah baru untuk inefisiensi. Kita tidak ingin kebijakan yang baik di atas kertas justru melahirkan praktik buruk dalam pelaksanaannya.
Di sisi lain, kebijakan yang memprioritaskan penggunaan Dana Desa untuk kebutuhan nyata masyarakat patut diberi apresiasi. Santunan kematian, beasiswa untuk santri kurang mampu, honor ketua pemuda, bantuan listrik untuk rumah tangga miskin—semua itu adalah wujud konkrit keberpihakan anggaran terhadap rakyat kecil. Inilah fungsi anggaran yang sebenarnya: hadir dan terasa di dapur masyarakat, bukan hanya di meja rapat pejabat.
Aspek ketahanan pangan pun ikut disentuh dengan mendorong pemanfaatan lahan pekarangan melalui program pangan lestari. Gagasan ini sederhana tapi revolusioner. Di tengah ancaman inflasi dan krisis pangan global, kemampuan desa untuk mandiri secara pangan adalah benteng terakhir kesejahteraan.
Kunci sukses dari semua kebijakan ini bukan hanya terletak pada aturan, tapi pada pelaksanaan dan pengawasan. Oleh sebab itu, penting bagi para keuchik untuk terus berkoordinasi aktif dengan camat. Sebaliknya, camat tidak cukup hanya menerima laporan, tapi harus aktif memantau dan mengevaluasi. Bahkan, dalam surat edarannya, Bupati menegaskan bahwa pengajuan verifikasi Rencana Penarikan Dana (RPD) tidak akan diproses jika kebijakan ini diabaikan. Ini adalah ancaman yang tegas, tapi perlu didukung agar tidak menjadi omong kosong belaka.
Tentu, kebijakan ini tak luput dari kontroversi. Akan ada pihak yang merasa ruang geraknya dipersempit. Tapi jika kita mau jujur, terlalu lama Dana Desa menjadi alat legitimasi untuk kegiatan-kegiatan yang tak punya dampak berarti bagi warga. Sudah saatnya kita bergeser dari seremoni menuju substansi.
Kita, sebagai bagian dari masyarakat sipil, harus terus mengawal pelaksanaan kebijakan ini. Bukan hanya untuk memastikan setiap rupiah digunakan secara tepat, tapi juga agar kebijakan seperti ini tidak berhenti sebagai dokumen yang indah, melainkan menjelma menjadi tindakan nyata yang dirasakan oleh rakyat paling bawah.
Karena sejatinya, yang kita butuhkan bukan lebih banyak pelatihan, tapi lebih banyak keberpihakan.
Post a Comment