Oleh: Mahdi
Di Aceh, kita punya warisan luar biasa dalam bentuk Qanun Gampong, yang salah satu isinya adalah tentang penyelesaian 18 perkara melalui hukum adat. Tujuannya jelas: menyelesaikan masalah sosial secara cepat, damai, dan sesuai dengan nilai-nilai lokal. Tapi kenyataannya, di Aceh Timur, banyak perkara yang seharusnya bisa selesai di tingkat gampong malah terbengkalai. Salah satu contohnya yang paling dekat dan sering kita temui adalah soal ternak lepas.
Setiap orang tahu, membiarkan ternak berkeliaran sembarangan itu bukan cuma melanggar aturan, tapi juga dosa. Merusak tanaman orang, mengganggu lalu lintas, bahkan kadang bikin orang celaka. Tapi anehnya, hal ini seperti dianggap biasa saja. Perangkat gampong diam, pemilik ternak juga merasa tak bersalah, dan masyarakat lainnya memilih pasrah.
Pertanyaannya: ke mana peran Qanun Gampong?
1. Tahu Tapi Tak Bertindak
Masyarakat tahu melepas ternak itu salah. Tapi karena tak ada tindakan nyata dari pihak gampong, akhirnya kesalahan itu dianggap wajar. Seolah-olah qanun hanya jadi pajangan, bukan pegangan. Padahal, dalam 18 perkara itu, soal ternak lepas sudah jelas masuk dalam wilayah penyelesaian adat.
2. Perangkat Gampong Tak Percaya Diri
Banyak keuchik dan tuha peut yang ragu menegakkan qanun. Ada yang takut dianggap cari masalah, ada juga yang merasa tidak cukup kuat secara hukum untuk mengambil tindakan. Ini terjadi karena tidak adanya pelatihan, pendampingan, atau dukungan dari pemerintah kabupaten. Akhirnya, mereka memilih diam daripada disalahkan.
3. Masyarakat Mulai Kehilangan Rasa Takut
Ketika hukum adat tidak ditegakkan, maka rasa takut akan sanksi pun hilang. Pemilik ternak merasa aman karena tahu tidak akan dipanggil atau diproses secara adat. Masyarakat lain pun mulai berpikir bahwa aturan itu tak berlaku lagi. Ini berbahaya, karena sedikit demi sedikit hukum adat akan kehilangan wibawanya.
4. Tidak Ada Pengawasan Serius
Kita tidak bisa mengandalkan kesadaran pribadi semata. Harus ada sistem pengawasan dan pelaporan yang jelas. Tapi di banyak gampong, hal ini belum berjalan. Tidak ada pos adat, tidak ada catatan pelanggaran, tidak ada mekanisme pemanggilan pelaku. Maka jangan heran kalau perkara-perkara ringan tapi meresahkan seperti ini terus berulang.
5. Dukungan Pemerintah yang Setengah Hati
Qanun Gampong bukan hanya tanggung jawab keuchik atau tuha peut. Pemerintah kabupaten dan provinsi harus hadir, memberikan penguatan kelembagaan, sosialisasi yang rutin, serta memastikan bahwa semua aparat gampong tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan berdasarkan qanun.
Penutup
Aceh Timur bukan kekurangan aturan—kita justru punya aturan adat yang diakui secara formal. Tapi aturan tanpa pelaksanaan hanya akan jadi formalitas. Kasus ternak lepas yang dianggap sepele, sebenarnya adalah cermin dari lemahnya penegakan qanun. Jika 18 perkara dibiarkan tak berjalan, maka jangan salahkan generasi berikutnya bila mereka benar-benar melupakan adat dan nilai lokal.
Mari kita hidupkan kembali Qanun Gampong. Bukan sekadar untuk menjaga aturan, tapi untuk menjaga martabat kampung kita sendiri.
Post a Comment